oleh Hosea Handoyo
‘Gay Pride’ mungkin masih terdengar asing di Indonesia. namun tidak di Belanda. Akhir pekan kemarin, tepatnya 4 Agustus, merupakan salah satu puncak acara Gay Pride Amsterdam: We are Proud dengan Boat Parade.
Yang menarik dari acara ini adalah dibawanya pesan-pesan perdamaian dalam parade yang menarik lebih dari 500.000 orang ini dan hamper 70% adalah kaum homoseksual dan transvestites. Tidak hanya disitu saja, beberapa partai politik, perusahaan internasional hingga kaum peneliti yang biasanya bekerja di lab mulai unjuk gigi.
Terlepas dari semua kontroversi yang ada, Gay Pride Amsterdam sejak tahun 1960 telah membawa kegerakan integrasi kaum homoseksual dalam damai di Eropa melalui acara-acara yang artistik dan melibatkan banyak orang. Cara inilah yang perlu kita contoh untuk membawa perubahan di bumi Indonesia mungkin – tentu saja bukan menjadi homoseksual yang kita contoh.
Pengaruh Keluarga
Saya teringat akan topik riset institut saya di Amsterdam, Netherlands Institute of Neuroscience, mengenai seksualitas dan biologi. Kini diketahui bahwa terdapat beberapa perbedaan biologis antara kaum homoseksual dan heteroseksual, misal anatomi otak (Swaab, 1990; Le-Vay, 1991) dan ekspresi genetik dan metabolik di dalam tubuh mereka (Hamer et al. 1993; Cooke et al. 1999; Kinnunen, Moltz et al. 2004; Berglund, Lindstrom et al. 2006). Tidak berhenti sampai di situ saja, ternyata banyak juga faktor lingkungan yang dapat menyebabkan homoseksualitas seperti kekerasan seksual, sodomi, hingga stres pada ibu hamil (Dörner et al. 1988; Ellis et al. 1998 & 1990).
Faktor lingkungan ternyata menyangkut bagaimana seorang anak dibesarkan. Orang tua ternyata menentukan seksualitas anak-anaknya. Penelitian di awal abad ke-20 oleh Sigmund Freud. Beliau mengungkapkan teori Oedipal Phase (1957) yang hingga kini belum termentahkan. Menurutnya, seorang laki-laki dapat menjadi seorang ‘gay’ bila memiliki hubungan yang terlalu erat dengan ibunya atau kurangnya atau hilangnya figur kebapakan dalam keluarga hingga bapak yang terlalu disiplin hingga memunculkan kebencian pada lali-laki secara umum.
Hal ini berlaku terbalik pada kasus perempuan lesbian dimana posisi ibu hilang atau terlalu disiplin dan ayah yang terlalu dekat dengan anak perempuannya ((Bell, Weinberg et al. 1981; Freund and Blanchard 1983). Sebagian besar kaum psikolog dan psikiatri percaya bahwa hal ini adalah “penyebab” utama homoseksualitas yang baru kemudian mengubah proses biologis dalam tubuh (Bogaert, 2006).
Gaya Hidup
Bila kita lihat gaya hidup masyarakat dunia, khususnya Indonesia, tidak mengherankan bila jumlah kaum homoseksualitas akan terus meningkat tiap tahunnya. Tuntutan karir dan gaya hidup metropolitan telah memaksa para orang tua kehilangan waktu dengan dengan anak-anaknya. Anak-anak pun mulai kehilangan figur bapak dan atau ibu. Efektivitas “waktu keluarga” nampak sangat penting di sini.
Gay Pride Amsterdam: We are Proud, telah menjadi indikator seberapa banyak “korban” gaya hidup metropolitan zaman modern di Eropa. Sebelum lebih terlambat di Indonesia, ada baiknya kita introspeksi. Seberapa baikkah hubungan orang tua dengan anak-anaknya? Bagi orang tua yang tidak ingin anak-anaknya menjadi homoseksual maka sudah sepatutnya kita memperhatikan “waktu keluarga” yang kita miliki. Mungkin Belanda perlu mengubah topik Gay Pride tahun depan menjadi Gay Pride Amsterdam: We are Proud (?) Apakah kita perlu bangga melihat bukti-bukti dari banyaknya anak-anak yang kurang kasih sayang?
Daftar Pustaka:
* Berglund, H., P. Lindstrom, et al. (2006). “Brain response to putative pheromones in lesbian women.” Proc Natl Acad Sci U S A 103(21): 8269-74.
* Bogaert, A. F. (2006). “Biological versus nonbiological older brothers and men’s sexual orientation.” Proc Natl Acad Sci U S A 103(28): 10771-4.
* Cooke, B. M., G. Tabibnia, et al. (1999). “A brain sexual dimorphism controlled by adult circulating androgens.” Proc Natl Acad Sci U S A 96(13): 7538-40.
* Dörner, G., B. Schenk, et al. (1983). “Stressful events in prenatal life of bi- and homosexual men.” Experimental and Clinical Endocrinology 81(83-87).
* Ellis, L., H. Hoffman, et al. (1990). “Sex, sexual orientation and criminal and violent behavior.” Personality and Individual Differences 11: 1207-1211.
* Ellis, L., M. A. Ames, et al. (1988). “Sexual orientation of human offspring may be altered by severe maternal stress during pregnancy.” Journal of Sex Research 25: 152-157.
* Freud, S. (1920/1955). The psychogenesis of a case of homosexuality in a woman. The standard edition of the complete works of Sigmund Freud. J. Strachey. London, Hogarth. 18: 147-172.
* Freud, S. (1957). Leonardo da Vince and a memory of his childhood. Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud. J. Strachey. London, Hogarth Press. 11: 100.
* Freund, K. and R. Blanchard (1983). “Is the distant relationship of fathers and homosexual sons related to the son’s erotic preference for male partners, or to the sons’ atypical gender identity, or both?” Journal of Homosexuality 9: 7-25.
* Hamer, D. H., S. Hu, et al. (1993). “A linkage between DNA markers on the X chromosome and male sexual orientation.” Science 261(5119): 321-7.
* Kinnunen, L. H., H. Moltz, et al. (2004). “Differential brain activation in exclusively homosexual and heterosexual men produced by the selective serotonin reuptake inhibitor, fluoxetine.” Brain Res 1024(1-2): 251-4.
* LeVay, S. (1991). “A difference in hypothalamic structure between heterosexual and homosexual men.” Science 253(5023): 1034-7.
* Swaab, D. F. and M. A. Hofman (1990). “An enlarged suprachiasmatic nucleus in homosexual men.” Brain Res 537(1-2): 141-8.
Sumber : http://netsains.com/2007/07/gay-pride-homoseksual-dipicu-lingkungan-dan-gaya-hidup/
0 komentar: on "Gay Pride: Homoseksual Dipicu Lingkungan dan Gaya Hidup"
Posting Komentar